Showing posts with label cerita pendek. Show all posts
Showing posts with label cerita pendek. Show all posts

Tuesday, August 25, 2015

ILFYPP — 1. Singel Brunch


1.

Amsterdam, 11 pagi.

Marc memainkan smartphone-nya sementara aku menunggu pesanan. Kami memesan salah satu menu brunch di sebuah kedai teh yang berada di Singel, Amsterdam. Marc bilang kalau menu brunch di kedai teh ini salah satu yang paling enak se-Amsterdam, plus katanya dia tahu kalau aku senang minum English Tea, plus lagi dekat dengan hostel tempat kami menginap. Tetapi lokasi kedai teh yang bersebelahan dengan kanal Singel lah yang membuatku setuju Marc mengajak kesini.

Friday, May 8, 2015

Cerita Tentang Gunung Dan Laut

Image source from: http://bit.ly/1EfQGK5


Buatmu, laut hamparan kebebasan. Ombak bergejolak tanpa pernah takut untuk terbentur. Pasang surut bergantian tanpa pernah berselisih. Dan karang, penjaga yang tangguh, meski ombak atau kapal-kapal yang karam itu membenturnya.

Kamu selalu bilang, pantai adalah rumah kebahagian. Tempat tawa pecah bersama ombak. Tempat cerita suka cita berkumpul bersama butiran pasir. Tempat letih tenggelam dengan indah di ujung cakrawala bersama jingga senja. Dan laut luas tanpa sekat sebagai atap kebahagiaan.

Kamu memang bagian dari laut. Kamu adalah air yang tak pernah tenang. Selalu bergerak mencari cerita, tanpa ingin dibatasi oleh elemen lain. Kamu adalah kedalaman laut yang penuh kisah tentang hidup yang tak pernah tertidur. Kamu adalah cerminan cakrawala, terbentang tak berujung. Meski terkadang orang bilang pantai adalah ujung, tapi buatmu pantai layaknya tempat singgah. Tempat di mana kebahagian berkumpul.

***

“Jani, kenapa kamu nggak suka pantai?”

Usai bertanya, Banyu tersenyum. Ku amati laki-laki yang duduk di hadapanku. Cahaya lampu kekuningan tak menyamarkan binar mata sayu berwarna coklat itu. Aku suka bibir penuhnya dan raut wajah cerianya saat sedang bercerita, terlebih tentang pantai. 

Kubalas senyum Banyu. “Bukan tidak suka, mungkin tidak terlalu tertarik. Tapi bukan berarti aku nggak mau ke pantai.”

“Loh, kenapa?” kening Banyu berkerut, membuat alis tipisnya itu hampir menyatu.

Tawa di wajahku kusembunyikan dengan kerlingan mata. “Loh! kenapa kamu masih terus bertanya pertanyaan yang pasti tak aku jawab.” Aku tersenyum. "Kalau aku bertanya apa alasanmu nggak mau ke gunung, emangnya kamu bisa jawab? Hahaha.."

“Hanya penasaran, kenapa gadis pengagum langit justru nggak tertarik dengan pantai.”

“Apa bedanya langit di pantai, di perkotaan, di persawahan, di gunung, di mana pun lah?”

“Beda! Langit di pantai jauh lebih ramah dibandingkan dengan di perkotaan atau gunung. Bukannya kamu menyukai langit tanpa sekat?”

Aku tertawa kecil.

“Kenapa tertawa? Bukankah kamu pernah bilang padaku kalau langit di tol Nusa Dua Bali begitu indah? Sekalipun ruas-ruas jalan tol yang menjadi pembatas, tak menghalangimu untuk bertatapan dengan langit bukan? Bukankah kau juga bilang bahwa disitu kamu menemukan kebahagiaan tanpa pembatas?”

Banyu memborongku dengan berbagai macam pertanyaan retorisnya. Dan kali ini aku pun harus mengiyakannya dengan tersenyum.

“Coba langit di perkotaan atau gunung atau sawah-sawah itu, bukankah itu memberi jarak kepada tanah bukan?” dengan santai Banyu tersenyum. "Atau mungkin tiang dan kabel listrik yang memberimu jarak?" kali ini dia tertawa.

“Oke, aku setuju dengan pendapat kamu. Tapi sekarang, point nya apa Banyu?”

“Point nya, kenapa pantai nggak bisa mengalahkan rasa cintamu terhadap gunung?”

***

Aku adalah kunang-kunang yang mencintai langit. Hanya kepada langit malam lah aku bisa membuka diri. Malam membantuku menemukan kebahagian, lewat sisa cahaya di tubuhku. Malam membantuku melihat gelap dari sisi yang berbeda. Sampai akhirnya aku mengerti malam lebih tabah dari siang. Ia ditinggalkan dan diabaikan oleh sebagian orang yang terlelap dalam mimpi. Tapi, ia tidak pernah lelah menaungi mereka dengan kenyamanan sunyi. Meninabobokan mereka dengan udara yang lebih sejuk. Dan langit, mungkin bukan sekedar pengagum, tapi langit bagaikan sebuah bagian cerita yang tidak pernah berujung, dengan awan sebagai visual effect yang membuatku merasa sempurna menemukan kebahagiaan disana. Disana, tempat aku bercerita.

Dan kunang-kunang, bukan kah mereka hanya bisa kalian temukan di gunung dan pohon juga semak belukar yang menjadi tempat sembunyi yang paling nyaman di siang hari?

Ya! Bagiku gunung, tempat bersembunyi paling baik. Di gunung aku bisa bersembunyi tanpa perlu hilang ditelannya. Berbeda dengan pantai, dimana aku bisa bersembunyi tanpa harus hilang dan tenggelam? Bagiku gunung teman paling baik untuk berbagi misteri kehidupan. Lewat pohon-pohon yang berdiri kokoh aku mengenal cara untuk bertahan saat panas, hujan atau angin menghempas. Lewat kicauan burung-burung yang tak terlihat, aku menemukan cara untuk berbicara dari tulisan. 

Lewat setapak-setapak yang menanjak, aku belajar berjuang untuk kebahagiaan.

***

Tapi, setahun terakhir ini, Banyu hadir dan mengajakku menjelajahi pantai pada cerita-ceritanya yang menggugah semangat.

"Kamu tahu Jani, tidak ada tempat yang lebih baik dari pantai! Dari laut! Dimana kamu bisa dengan bebasnya bermain-main dengan air tanpa perlu takut terlalu banyak menghabiskannya hahaha..."

Dengan selera humornya, Banyu menjelma sosok yang sangat hangat. Hidupnya penuh dengan gairah, tanpa perlu mengkhawatirkan apapun. Karena katanya…

“Untuk apa khawatir? Yang absurd itu bukan tawa Jani…. tapi rasa khawatir itu lah hal yang paling absurd.” Lalu ia tertawa renyah, menertawakan segelintir kalimat yang semalam aku tulis di pembukaan cerita.

Kubuat tawa seenggan mungkin untuk menggodanya saat menanggapi ucapannya.

“Aku besok mau pergi ke pantai, kamu mau ikut?”

Itu sudah ajakan yang kesekian kali dari Banyu. Tapi, lagi-lagi hanya ku jawab dengan gelengan kepala.

“Oh iya, kamu kan anak gunung. Aku lupa. Eh…., salah. Kamu anak ayah ibumu yang mencintai gunung….” kali ini ia terbahak-bahak, dan aku pun ikut tertawa. Kali ini tanpa pura-pura terpaksa.

“Nih….” Kuserahkan sebuah totebag yang di dalamnya terdapat sebuah kotak yang terbungkus dengan rapi dengan kertas kado berwarna biru laut. “Selamat ulang tahun Banyu. Aku tau ini kecepetan,  ulang tahun kamu masih..beberapa hari lagi! But this is your month! Haha. Oh iya, buka kadonya di rumah aja ya!” aku tersenyum, menghilangkan sedikit gemetar di tanganku.

“Wah! Jan, ini apa? Kok lumayan berat gini. Bukan emas batangan kan? Atau, ini bukan bom kan? Bukan uang yang banyak dari hasil korupsi kan?”

"Menurut nganaa??" ujarku dengan raut muka mencibir yang dibuat-buat.

Hahahaha…. kita kembali tenggelam dalam tawa. Sore yang indah.

***

Sebelum benar-benar kurapikan kertas kado dan memasukkannya ke dalam totebag, aku menulis sebuah tulisan pada kertas persegi empat kecil berwarna krem, aku baca kembali.

Dear Banyu,

Bagaimana dengan pertambahan usiamu? Pastinya menyenangkan bukan, sudah 607 hari yang kamu isi dengan banyak tawa. Karena itu, doaku hanya satu semoga bahagia dan tawa selalu menyertaimu. Maaf kalau aku sering mengeluh atau berpura-pura merajuk agar diperhatikan.
Mulai hari ini, mungkin aku tidak selalu ada di sisimu - tapi tahukah kamu bahwa sekalipun kamu tak melihat bintang, ia selalu ada di atas sana untuk menanti waktu yang tepat untuk bersinar? Semoga kamu menyukai kado nya ya..
Terimakasih Banyu, karena selalu ada.

Dari Gadis Pengagum Langit Tanpa Sekat yang Mencintai Gunung, juga kamu.
***
Kutarik napas berat dan panjang…

"Jani, kamu udah siap? Sebentar lagi pesawat take off." Alen menggenggam tanganku.

Aku beranjak dari seat ku, terhitung sudah satu bulan semenjak kepergian Banyu yang tanpa kabar. Dadaku masih sesak, mataku masih sembab bekas kemarin. Bangkit berdiri, perlahan aku merasa pandanganku kabur dan gelap. Kehilangan keseimbangan, sayup-sayup kudengar suara Alen yang berteriak panik.

***
Selamat ulang tahun. H-7.

Tuesday, November 18, 2014

Every Name Has Their Own Story

Source pict from: http://bit.ly/1xyRwCK


Namanya Febi.

Saya cuma tahu kita pernah satu sekolah saat menginjak SMA selama kurang lebih satu tahun. But sadly to tell you if he was the late one.

Sekalipun kepergian dia pada tahun 2010, tidak akan pernah ada yang lupa akan sosoknya. Hingga hari ini.

Semua orang begitu sepakat bahwa dia begitu baik hati, dan begitu menyenangkan. Mungkin siapapun yang pernah kenal dengan dia akan merasa begitu beruntung pernah mengenalnya.

Febi merupakan sesosok teman ideal yang dicari banyak orang, baik dan rendah hati. Tidak pernah merasa gengsi untuk menyapa siapapun.

Dia divonis mengidap kanker tulang, setelah sebelumnya terkena cedera sehabis bermain futsal. 4 bulan menjalani perawatan intensif di sebuah rumah sakit, tapi mungkin yang Maha Kuasa berkehendak lain. Saya setuju, Tuhan begitu rindu akan dia - atau mungkin, dia sudah cukup melakukan begitu banyak kebaikan pada semua orang dan Tuhan begitu sayang padanya apabila dia 'tercemar' oleh fana-nya kehidupan yang cuma sebentar ini.

Febi pergi pada hari Jum'at tertanggal 24 Desember 2010 pukul 01:00 dini hari dan dimakamkan pukul 10:00 pagi. Begitu banyak yang melayat, menandakan begitu banyak yang begitu kehilangan akan sosoknya.

Hari Jum'at merupakan hari yang paling baik dalam Islam.

Tidak banyak yang bisa saya gambarkan, karena sejujurnya saya tidak mengenal betul siapa sesosok Febi.

Karena yang bisa saya gambarkan disini, adalah salah seorang temannya yang merasa begitu kehilangan. Dan dari dialah, sedikitnya saya bisa menggambarkan bagaimana sesosok Febi yang begitu istimewa.

Salah seorang teman -yang tidak bisa saya sebutkan namanya-, dia begitu dekat dengan Febi. Hingga pada suatu hari kami menyempatkan bertemu pada satu tempat makan fast food di Bandung kemudian bercengkrama. Awalnya ngalor-ngidul, sampai entah bagaimana caranya bisa menepi disana, dan dia mulai bercerita. Membawa kenangannya ke empat tahun belakang. Begitu jauh memutar waktu, dan kemudian dia ada disana,

Tahun 2010

Dan saya mendengarkannya dengan seksama...

Kedekatannya dengan Febi dimulai pada masa awal masuk ke jenjang sma dan mereka satu kelas dan begitu berteman akrab.

Teman saya banyak sekali menghabiskan waktunya dengan Febi. Atau mungkin, Febi merupakan satu-satunya yang begitu mengenal dia. Bolos bareng, jalan bareng, saling cerita masalah pribadi, semuanya. Yang mungkin bahkan teman kita justru lebih tahu dibandingkan kita sendiri. Dan tidak terhitung sudah berapa kali dia teman saya, berkunjung ke rumah Febi. Dia bilang bahwa rumah Febi layaknya rumah kedua bagi dia. Dan selayaknya dianggap sebagai anak oleh orang tuanya.

Bagian paling lucu dalam cerita teman saya adalah bagaimana dia dan Febi yang begitu kekanak-kanakan dan oh-dude-seriously-why adalah ketika mereka berdua saling naksir salah seorang cewek dan Febi memberikan sebuah challenge untuk teman saya kalau dia bisa membuat cewek -korban- yang bersangkutan naksir balik teman saya, sebagai hadiahnya Febi akan memenuhi permintaan teman saya.

( Untuk teman-teman cewek dari teman saya yang telah menjadi korban kepalsuan dia, mohon untuk dimaafkan kesalahannya yang lalu ya :nohope: )

Menurutnya, Febi bukan hanya teman yang berbagi di kala suka, tapi juga duka. Dari sekian banyak stok teman-teman Febi yang begitu sosialis, teman saya tidak pernah menjadi seseorang yang selalu di nomor dua kan. Dari ceritanya, Febi bukan sesosok pribadi yang ketika mendapat yang baru, yang lama dia tinggalkan. Tapi ketika mendapat yang baru, yang lama dia ajak untuk bersama-sama menikmati yang baru.

"He's just resting too soon."
ujarnya.

Karena kita tidak pernah tahu kapan seseorang akan pergi, kan?
"I know it."
"But we don't need to grieving too hard as he already rest in peace somewhere out there. And you have to be peaced with your life now."
ujar saya.

Kemudian dia menitikkan air matanya, larut dalam keharuannya. Mungkin begitu rindu akan sosok Febi - sosok seorang teman yang begitu tulus yang pernah mengisi hidupnya dengan sempurna.

Kita terdiam cukup lama. Hingga akhirnya secara tiba-tiba saya berbicara,
"Dan sampai saat ini pasti masih ada satu space kosong, satu bongkahan di hati kamu. Dan itu cuma bisa diisi sama dia seorang: your late best friend."
Mungkin seperti sebuah bongkahan, bongkahan hati. Dan ketika ditinggalkan oleh seseorang tersebut, itu tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Dan kosong yang dibiarkan lama tak terisi itu bisa begitu terasa menyakitkan.

Saya tidak tahu dengan Febi. Yang saya tahu bahwa orang-orang memanggilnya dengan sebutan Ebot. Tapi dari seluruh cerita teman saya yang mungkin satu sisi, dari banyaknya orang yang pernah menyebutkan nama dan ceritanya, sedikitnya saya berani menyimpulkan jika saya mengenalnya dengan baik 4 tahun lalu, mungkin saya juga akan begitu menyayanginya hingga hari ini dia pergi.

Febi merupakan seseorang yang memang ditakdirkan untuk dicintai begitu banyak orang. Karena hingga hari itu ketika saya bercengkrama dengan teman saya pun, masih ada orang yang begitu larut dalam kehilangan ketika mengenangnya.

Mungkin kita terheran-heran, ini sudah menginjak tahun ke-4 sejak hari itu, tapi kok kenapa masih ada orang yang belum completely move on dari satu momen mengharukan di hidupnya?

Karena mungkin, yang tidak mengerti belum tahu bagaimana rasanya kehilangan untuk selama-lamanya...

- In memorial, Febi Muhamad Al Kautsar (24 Desember 2010 - 18 November 2014) 36 days until his 4 years' leaving -