Showing posts with label poem. Show all posts
Showing posts with label poem. Show all posts

Tuesday, March 14, 2017

Friendship

– 
I used to think friendship was
sleepovers and play dates.

But I know it's not.

Friendship is there in the morning talks
about what happened the day before
and why the hell you're still awake.

Friendship is there in the afternoon
laughing so hard you're on the floor at
a corny joke for the third time that day.

Friendship is sitting there eating in
silence because you would rather eat
than talk, and they would too.

Friendship is something that you
brave enough to show them yourself
without afraid being judged,
or being left.

Friendship is crying together at the
corner of the fast food restaurant,
just because they don't want you
to cry alone.

Friendship is love in the strangest ways
when all else is lost.

I do love that kind of friendship.
We do.

Monday, February 13, 2017

Dead Butterflies







I sometimes think about the fragility of glass–of broken shards tearing against soft skin. When in truth, it is the transparency that kills you. The pain of seeing through to something you can never quite touch.

For years over years I've kept you in secret, behind a glass of screen. I've watched helplessly as day after day, your new girlfriend becomes your wife and then later, the mother of your children. Then realizing the irony in thinking you were the one under glass when in fact it has been me – a pinned butterly– static and unmoving, watching while your other life unfolds.

Thursday, January 5, 2017

Kadang kita begitu senang memaki tanpa tahu perasaan dia yang kita caci

Van Gogh, Starry Night




Kadang kita begitu senang memaki tanpa tahu perasaan dia yang kita caci.
Begitu senang mencela, tanpa tahu sedang membuka luka.

Ada kecemburuan di dalam benakmu bahwa kau tidak kusebutkan dalam prasa,
padahal namamu tak pernah absen kulantunkan tiap sepertiga malam di setiap doa yang penuh asa.

Sayang.., ungkapan rasa cinta tidak harus melulu dibaiat dengan puisi atau sajak bukan?
Katamu juga itu memuakkan.

Kamu boleh dengan mudahnya mencaci, tapi aku tidak tahu apa kamu juga butuh untuk dibenci.

Maaf aku tidak pandai menjaga hati, sampai kamu mati-matian memaki malam tadi.

Kalau sekarang kamu bingung hingga marah
Sini ke pundakku, bersandarlah..
Mungkin engkau lelah.

Wednesday, December 21, 2016

Untuk kamu, yang pernah ada

Untuk kamu, yang sempat hadir.

Apa kabar? Sudah lama kita tak jumpa. Jangankan berjumpa, saling sapa pun sudah tidak. Aku maklumi itu semua. Aku menghargai kehidupanmu, dan kau? Entahlah masih peduli dengan hidupku atau tidak.

Mungkin kamu akan bertanya, kenapa aku menulis ini semua? Jika kau mengira, karena aku ingin mencuri perhatianmu tentu tidak :)

Untuk apa? Lalu jika kau mengira, aku ingin mendramatisir keadaan itupun tidak. Sama sekali tidak.
Aku menulis semua ini hanya karena rindu dan ingin mengungkapkan apa yang selama ini mengganggu pikiranku.

Cinta kita hanyalah cinta monyet. Cinta yang tumbuh di bawah atap sekolah. Cinta yang terus tumbuh hanya karena memandang dari jauh. Cinta yang terus tumbuh ketika kita bertukar sapa dan senyum. Cinta yang terus tumbuh karena pipiku merona setiap kali mendengar namamu. Manis. Aku masih bisa merasakannya walaupun hanya sedikit mengingatnya.

Tuesday, December 8, 2015

Kalau keegoisan itu berupa, mungkinkah kita masih ingin menatap cermin?

Source: http://www.photoone.org/wp-content/uploads/2013/02/girl-from-the-mirror.jpg

Kalau keegoisan itu berupa,
mungkinkah kita masih ingin menatap cermin?

Lalu sandiwara mana
yang menurut kamu layak dimainkan?

Dan pesakitan mana yang kamu pilih
untuk tahu bahwa hidupnya tidak lebih
dari retorika kebohongan?

Baiklah, ini imaji –– hanya saja, kenapa harus aku?

Bersenang-senanglah. Dah!

Friday, December 4, 2015

Hujan Desember, dua tahun lalu



Di bawah pepohonan, kamu berteduh, tengadah
Rintik hujan seolah tidak mau menyerah
Oh hujan, berhentilah

Kamu berusaha bisu, tapi
rahangmu memberontak, menggigil
Adakah yang peduli?
Apa Tuhan juga peduli?

Selangkah pergi, sebuah mobil kencang melaju
Menerobos genangan air di hadapanmu
Membasahi rok abu-abu panjangmu, kuyu

Di bawah pepohonan, kamu kembali tengadah,
Apa memang harus menyerah?

Hari itu langit berwarna kelabu
Dan rintik hujan yang berusaha menyapu
air mata yang kamu tidak mau
Apa Tuhan tahu?

Oh, bagaimana kamu pulang?
Bajumu basah, henfonmu hilang
Sedangkan langit barang tentu terang

Di bawah pepohonan, kamu tengadah
Hanya menangis, tak bisa marah
Kalau Tuhan Maha Pemurah
Semoga esok hari yang cerah.

(Pohon dan jalanannya tetap sama,
Mungkin hujan yang sedikit berbeda rasa.)

Thursday, April 9, 2015

Jangan Buat Orang Jatuh Cinta


Kenapa harus buat orang jatuh cinta,
kalau pada akhirnya kamu pergi berlari dan tertawa

Kamu pikir itu caranya menjadi pemenang?

Kenapa kamu harus berlari?
Apa kamu terlalu takut bahwa hatimu akan ikut terkunci?

Dan kenapa tertawa?
Buat ku berpikir bahwa kau sungguh kejam,
atau sejujurnya kamu juga takut ikut jatuh cinta?

Thursday, March 26, 2015

Kenapa Berpura-pura


Kamu tahu sayang, 16 tahun yang lalu, seorang gadis kecil percaya

bahwa keajaiban bisa terjadi dari kepura-puraan dongeng pengantar tidur

Dan dalam bisu, dia melantunkan doa

Berharap bahwa hidupnya bisa seindah itu,

Berharap bahwa hidupnya juga diperhitungkan

Oleh keberuntungan, keajaiban dan mungkin cinta?



Hari ini, dia yang impiannya kamu hancurkan.



Kemarin, kamu pemeran utamanya, kamu pangerannya.

Sekarang, cukup aku yang terperdaya

Dan esok, kamu tidak lebih dari tukang sihir sayang

Berusaha untuk memperdaya dengan keindahan berselimut pesakitan

Dan haruskah aku terperdaya atau berpura-pura?



Bahkan dengan kepura-puraanmu yang tanpa ragu,

Toh pada akhirnya aku tahu

Apa cinta mesti begitu?

Dan walaupun bisu, haruskah ia dungu?

Haruskan aku seperti cinta?



Ini hanya kecewa, selebihnya baik-baik saja.

Kalau itu karena kamu, kalau itu tanpa kamu.

Monday, November 17, 2014

Titik Nol

Source pict from: http://bit.ly/1wLcSXX

Waktu ibarat pemburu, menikammu di sisa waktumu yang terburu-buru.
Kau paksakan ia untuk cukup, tapi yang kau dapatkan justru makin terpuruk.

Dan janji-janji kehidupan, semua hanya teori mati

Yang di setiap malamnya, kau tengadahkan tanganmu, di tiap-tiap tetesan air yang mengalir dari kedua matamu, kau menagih jawaban, meminta.

Dan di setiap singsingan fajar, kau dendangkan harapanmu. Menunggu keajaiban.

Berharap bahwa semesta mengamini pengampunanmu, dan membawamu pada keajaiban itu.

Lalu pada harapan-harapan yang kau gantungkan, apa yang kau dapatkan?

Hidupmu begitu tabu, fana.
Tapi ke-fana-an itu yang mengoyak jiwamu tanpa ragu.

Lalu aku harus apa?
Diam disini?
Lalu mati?

Kau ingin titik nol itu. Kembali ke awal. Memperbaiki itu. Dan ini.
Tapi bisa apa aku ini?
Menagih janji-janji kehidupan pun bukannya kau tak mampu?

Dan janji-janji kehidupan itu, ya, semua hanya teori mati.
Atau mungkin, kita disini yang mati.

Tuesday, August 26, 2014

Bilur

 
Source pict from: http://bit.ly/1qxDrjc

Bilur ini, ....kenapa begitu pilu?

Detak detik seraya memburu, kurekam semua selagi aku tahu,

....tapi kenapa aku tak mampu?

Kamu bilang semua tak sejalan, ya kataku.

Mari kita berpendar - tapi kenapa kau tak mau?

Sore ini, ketika debu jalanan menghantam seluruh kenangan tentang aku juga kamu,

kepulan asap jalanan seolah menjelma menjadi sukmamu

Menelisik diantara sudut-sudut pikiranku yang buntu,

menampar semua memoar-memoar yang coba ku kumpul,

menyimpulkan satu jawaban singkat - tapi kenapa kamu malah diam membisu?

Lalu bilur ini, ....kenapa begitu pilu?



Sabtu, 4 Desember 2010 - Soekarno dan Hatta menjadi saksi,

atas aku dan kamu, yang masing-masing pikirannya sudah mati,

sebab hati tak lagi sehati,

tapi tetap saling caci.

Sunday, September 9, 2012

Setahun... Sewindu mungkin?



Aku merasa nafasku sesak dan seolah diburu oleh waktu. Sedang waktu seolah mempermainkan detiknya, menatapku dengan seringainya dan berjalan dengan lambat-lambat. Aku lelah, dan entah harus bersikap seperti apa. Menutup diri, membungkam mulut, dan seolah bersikap bahwa ini semua akan baik-baik saja.

Tidak, ini tidak baik! Aku akan mati mengenaskan dengan cara seperti ini. Mati dengan memendam perasaan yang tak tersampaikan, perasaan yang kusimpan rapat-rapat, dan selalu ingin aku kubur tapi selalu menunggu waktu agar ia sampai pada tujuannya.

Tersenyum, mereka bilang. Dan kau akan baik-baik saja, mereka bilang. Aku tersenyum, dan aku tidak baik. Sugestikan pikiranmu, ini semua baik-baik saja, mereka bilang. Aku mensugestikan pikiranku, tapi ini semua tidak berhasil. Aku telah bersimbah peluh, tapi waktu malah makin berjalan dengan lambatnya. Aku tahu, ia menyiksaku dengan keadaan seperti ini, dengan keadaan dimana aku terkunci dan tak bisa bergerak walau sejengkal, sesak.

Waktu dan mereka, ya mereka, yang memperhatikan setiap gerik dan tatapan mataku, seolah ingin tahu semua yang aku kerjakan, dan aku yang (tentu saja) merasa diperhatikan, mengunci semua gerikku dan bersikap 'Aku aman'.

Ini baru seminggu, belum sebulan, dua bulan, setahun, sewindu....mungkin? Aku tidak tahu sampai kapan aku akan bertahan, aku tidak tahu sampai sejauh mana aku bisa menahan setiap helaan nafasku, aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bersikap seolah mannequin yang terus menatap waktu yang menari-nari dengan detiknya.

Tidak, aku benar-benar sendiri kali ini. Aku jenuh.

Tuesday, July 24, 2012

Aku, Kamu, Ekspektasi

Source pict from: http://bit.ly/1qn0Yoe

Aku dan kamu.
Realitas kita jauh melampaui ekspektasi.
Entah diharapkan datangnya, entah tidak.
Yang terjelas, kita sama-sama menunggu.

Aku dan kamu.
Kita yang sama berharap hidup di negeri seribu satu malam,
lalu bagaimana bila kenyataannya,
jika kitalah yang mengunjungi seribu satu negeri dalam 1 malam?

Kita ini ekspektasi, dan kemudian debu-debu harapan itu terhempas oleh kenyataan.

Aku dan kamu.
Pernahkah kita merasa kenyataan ini terlalu pahit sedangkan kita tak pernah
punya kesempatan mengecap manisnya ekspektasi?

Aku dan kamu,
Tidak, ini bukan antara aku dan kamu, tapi antara ekspektasi dan
kenyataan yang keduanya menghimpit pengharapan yang menyesakkan.

Sunday, April 15, 2012

Malaikat Bersayap Patah


Akulah malaikat,
dengan muka bersinar memantulkan cahaya
Akulah malaikat,
dengan sebatang tongkat pengabul seribu mimpi
Akulah malaikat,
dengan sepasang sayap membentang seluas ufuk timur.

Ya, aku malaikat yang kau gumamkan
di perempatan alam bawah sadarmu
Malaikat yang terus memegang asamu
agar kau tak kehilangan nafas
Yang menjaga mimpimu ketika kau terlelap
dalam tidur panjangmu melewati purnama
Dan, akulah yang memapahmu
ketika kau terperanjat akan realita

Akulah malaikat dengan jubah keemasan
yang kau sibak dengan kebohongan
Akukah malaikat dengan sayap-sayap
yang kau patahkan dengan kehinaan

Ketika nafas ini tinggal satu-satu
Dan ketika Izrail turun ke bumi, merebahkan sayapnya
diantara sayap-sayapku yang patah
Kulihat bulir demi bulir airmata turun dari matamu
yang tajam bagaikan sembilu
Kau bersujud, menghamba padanya, histeris.
Kau bilang bahwa aku harus bertahan
Mau apa kau?

Akulah malaikat. Dan kau? Kau setannya.

Thursday, March 1, 2012

Aku dan Kamu


Kepadamu, aku menyimpan cemburu dalam harapan yang tertumpuk oleh sesak dipenuhi ragu.

Terlalu banyak ruang yang tak bisa aku buka.
Dan, kebersamaan cuma memperbanyak ruang tertutup.
Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan. Ya, jalanmu dan jalanku. Meski, diam-diam, aku masih saja menatapmu dengan cinta yang malu-malu.

Aku dan kamu, seperti hujan dan teduh. Pernahkan kau mendengar kisah mereka? Hujan dan teduh ditakdirkan bertemu, tetapi tidak bersama dalam perjalanan.
Seperti itulah cinta kita. Seperti menebak langit abu-abu.

Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan....

Hujan dan Teduh, Wulan Dewatra

Tuesday, January 31, 2012

Lengkapnya Sepi


Lama tidak dengar kabarmu, bagaimanakah kamu sekarang? Semoga kamu dijaganya baik, jangan sampai percuma melepas aku. Jauh dariku bukan berarti tanpa tertawa. Meski ia tidak selucu aku, janganlah jatuh air matamu. Meninggalkan aku sendiri di sini kan seharusnya bukan pilihan untuk bersedih sepanjang hidup. Semangatlah untuk membuat dirimu mencintainya!

Memang sesekali aku coba mencinta dengan mencium, mendobrak pintu hatiku dengan kecupan. Namun apa mau dikata, malah luka perasaan orang. Apa cinta yang meledak-ledak menghancurkan hati sendiri? Sebab setiap bunyi hantaman keras, kudengarnya bagai namamu.

Beberapa menyukaiku dengan lembutnya, hanya tak sedalam kamu mengenal aku. Kamu lebih dari masa lalu, seperti pahlawan yang tidak mungkin hanya karena ada luka kecil, dapat terlupakan perjuangannya. Jika ada sejuta mulut yang menyoraki aku brengsek, aku percaya kamu tetap memiliki suara sendiri. Itulah! Sesekali memang aku suka berkata bodoh, membencimu karena jauh. Sebab menyakitkan, kamu hadir untuk kuingat, seperti datang untuk berpamit. Terkadang ini yang membuatku berharap cemas, di mana kiranya keseluruhanku dapat rubuh, sehingga dari atas panggung aku terjatuh, kemudian mendarat di pangkuanmu. Sekarang setelah semuanya ingin kumulai sendiri, tiap kepingku telah menjelma menjadi nyawa dan memberi hidup bagi tiap kata yang melengkapkan sepi setiap orang.

–Zarry Hendrik

Wednesday, January 11, 2012

Hey Kamu


Hey kamu gadis bermata cantik berbulu mata lentik
dengan rambut panjang ikal yang rupawan
Bolehkah aku menatap dalam matamu yang indah?
Hanya untuk tahu seberapa dalam kamu mencintainya

Hey kamu gadis lembut bermulut tipis
dengan suara indah yang kau alunkan
ketika kau menyapa dunia
Bolehkah aku mendengar suaramu ketika kau
berujar namanya?
Hanya untuk tahu seberapa indah dia dalam duniamu

Hey kamu gadis lugu berhati teduh,
yang menatap dengan tatapan seteduh lautan
Boleh kuintip seberapa teduh kau menaungi hatinya?
Hanya untuk tahu jika hatinya tak lagi terbakar amarah

Hey kamu gadis menarik berhati riang,
kulihat kau selalu tertawa bersama mentari
dan selalu bercengkrama dengan sang dewi malam
Boleh kutahu seberapa riang kau meramaikan hatinya?
Hanya untuk memastikan jika ia tak lagi termakan sepi

Hey kamu si gadis yang telah merebut hatinya,
yang membuatnya berpaling akan semesta
Bolehkah aku mencuri setiap keindahan yang kau punya?
Hanya untuk membuat dia menjenguk kembali
ke hatinya yang dulu ia tinggalkan

Bukankah ini lucu?


Aku bilang kau tidak mengerti, dan kau tak pernah tahu
apa yang tersembunyi di balik mega
Dan mega tak pernah tahu apa yang kau sembunyikan
dalam hatimu

Masing-masing dari kita tak saling menahu bukan?
Lalu mengapa kau suka sekali menerka?

Bukankah ini lucu?

Aku tak perlu angin untuk menebarkan asaku padamu
Aku tak butuh berjuta mimpi untuk meluapkan semua
imaji teruntukmu

Tapi, kenapa aku masih terus terperangkap dalam asa
dan imaji pengharapan?

Bukankah ini lucu?

Hey, kau pikir hanya kau yang tersiksa?
Hey, kau pikir hanya kau saja yang bermuram durja?
Hey, kau pikir hanya kau yang terus menari diantara badai?

Kita sama tersiksa. Dan entah kenapa kita saling menyiksa.
Tapi kenapa asa ini terlalu sulit untuk menguap di angkasa?

Bukankah ini lucu?

Aku tak bisa menunggu, dan kau tak bisa ditunggu
Lalu mengapa masing-masing kita berharap tangan ini bisa saling
menggenggam sedang kita terpisah diantara dimensi kehidupan?

Bukankah ini lucu?

Wednesday, March 16, 2011

Confessions


I want to love you,
But I can't.
I want to tell you I feel the same way,
But I won't.
I want to say I'll always stay with you,
But I know it won't be true.
I want to sing songs of love,
But I know I won't hit the right notes.

Confessions,
I'm using you to get over him,
A bridge to cross troubled waters.
I did it before, I may have to do it again.
I'm devious and cruel for it-
Forgive me please.
I'm using you to pick up the pieces that used to resemble a life.
To pretend I still have hope,
When he took all the hope I had with him.

That's right he left,
I didn't drive him off- I hope I didn't scare him away.
We didn't fight or argue.
I just woke up and he was gone.
Not knowing, makes all the difference.

by ~bookworm012496